Sunday 6 May 2012

Lapang Dada

"Siapa yang menahan marah, padahal ia dapat memuaskannya (melampiaskannya), maka kelak pada hari kiamat, Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluk. Kemudian, disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya." (HR. Abu Dawud & At-Tirmidzi)

          Tingkat keteguhan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup memang berbeza-beza. Ada yang mampu menghadapi persoalan yang sedemikian sulit dengan perasaan tenang. Namun, ada pula orang yang menghadapi persoalan kecil saja ditanggapinya dengan begitu berat. Semuanya bergantung pada kekuatan ma'nawiyah (keimanan) seseorang.

           Pada dasarnya, tabiat manusia yang beragam: kasar dan tenang, cepat dan lambat, bersih dan kotor, berhubungan erat dengan keteguhan dan kesabarannya saat berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan iman akan menyelusuri lorong-lorong hati orang lain dengan respon pemaaf, tenang, dan lapang dada.

           Ada kalanya, kita berasa begitu marah pada seseorang yang menghina diri kita. Kemarahan kita begitu memuncak seolah-olah jiwa kita terlempar dari kesedaran. Kita berasa tidak mampu menerima penghinaan itu. Kecuali, dengan marah atau bahkan dengan cara menumpahkan darah. Na'udzubillah.

           Menurut riwayat, ada seorang Badwi datang menghadap Nabi S.A.W. dengan maksud ingin meminta sesuatu pada beliau. Beliau memberinya, lalu bersabda, "Aku berbuat baik padamu." Badwi itu berkata, "Pemberianmu tidak bagus." Para sahabat tersinggung, lalu mengerumuninya dengan kemarahan. Namun, Nabi memberi isyarat agar mereka bersabar.

          Kemudian, Nabi S.A.W. pulang ke rumah. Nabi kembali dengan membawa barang tambahan untuk diberikan ke Badwi. Nabi bersabda pada Badwi itu, "Aku berbuat baik padamu?" Badwi itu berkata, "Ya, semoga Allah membalas kebaikan Tuan, keluarga dan kerabat."

          Keesokan harinya, Rasulullah S.A.W. bersabda kepada para sahabat, "Baik, kalau pada waktu Badwi itu berkata dengan sekasar engkau dengar, kemudian engkau tidak bersabar lalu membunuhnya. Maka, ia pasti masuk neraka. Namun, kerana saya tanggapi dengan baik, maka ia selamat."

          Beberapa hari setelah itu, si Badwi mahu diperintah untuk melaksanakan tugas penting yang berat sekalipun. Dia juga turut dalam medan jihad dan melaksanakan tugasnya dengan taat dan reda.

          Rasulullah S.A.W. memberikan contoh kepada kita tentang berlapang dada. Beliau tidak panik menghadapi kekasaran seorang Badwi yang memang demikianlah karakternya. Kalau pun saat itu, dilakukan hukuman terhadap si Badwi, tentu hal itu bukan kezaliman. Namun, Rasulullah S.A.W. tidak berbuat demikian. Beliau tetap sabar menghadapinya dengan sikap yang ramah dan lemah lembut. Pada saat itulah, beliau saw ingin menunjukkan pada kita bahwa kesabaran dan lapang dada lebih tinggi nilainya daripada harta benda apa pun. Harta, saat itu, ibarat longgokan sampah yang dipakai untuk meredakan unta yang mengamuk. Tentu saja, unta yang telah mendapatkan keperluannya akan dengan mudah dapat dijinakkan dan dapat digunakan untuk menempuh perjalanan jauh.

Ada kalanya, Rasulullah S.A.W. juga marah. Namun, marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Itu pun ia lakukan bukan sebab masalah peribadi. Melainkan, kerana kehormatan agama Allah.

           Rasulullah S.A.W. bersabda, "Memaki-maki orang muslim adalah fasik (dosa), dan memeranginya adalah kufur (keluar dari Islam)." (HR. Bukhari)

           Sabdanya pula, "Bukanlah seorang mukmin yang suka mencela, pengutuk, kata-katanya keji dan kotor." (HR. Tirmidzi)

           Seorang yang mampu mengendalikan nafsu ketika marahnya memberontak, dan mampu menahan diri di kala mendapat ejekan. Maka, orang seperti inilah yang diharapkan menghasilkan kebaikan dan kebajikan bagi dirinya maupun masyarakatnya.

            Seorang hakim yang tidak mampu menahan marahnya, tidak akan mampu memutuskan perkara dengan adil. Dan, seorang pemimpin yang mudah dicucuh nafsu marahnya, tidak akan mampu memberikan jalan keluar bagi rakyatnya. Justeru, ia akan sentiasa menimbulkan permusuhan dalam masyarakatnya. Begitu juga pasangan suami-isteri yang tidak memiliki ketenangan jiwa. Ia tidak akan mampu melayarkan laju bahtera hidupnya. Sebab, masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan kecil pasangannya.

             Bagi orang yang imannya telah tumbuh dengan suburnya dalam dadanya. Maka, tumbuh pula sifat-sifat jiwa besarnya. Subur pula rasa kesedarannya dan kemurahan hatinya. Kesabarannya pun bertambah besar dalam menghadapi suatu masalah. Tidak mudah memarahi seseorang yang bersalah dengan begitu saja, sekalipun telah menjadi haknya.

           Orang yang demikian, akan menguasai dirinya, menahan amarahnya, mengekang lidahnya dari pembicaraan yang tidak patut. Wajib baginya, melatih diri dengan cara membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit hati. Seperti, ujub dan takabur, riya, sum'ah, dusta, pengadu domba dan sebagainya. Dan juga, wajib melaksanakan amalan-amalan ibadah dan ketaatan kepada Allah, demi meningkatkan darjat yang tinggi di sisi Allah S.W.T.